Ananda Donie |
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera
disyahkan sebagai presiden baru.
Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk
ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul
Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu,
teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang
dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan
segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil
di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat
sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak
lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat
melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan
salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya
diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam
hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja
dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun,
dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak
persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan
diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal
sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan
diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik
Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah
diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan,
kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga
mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin
negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan.
Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari,
karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara
dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan
juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara,
kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai
keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai
berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara
Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara,
tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh
pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk
kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan
untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu.
Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden
Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian
digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya
beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam
Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur.
Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu.
Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan
lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan
kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan
itu merupakan cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah
pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan
menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah
nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang
namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah,
akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol,
lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh
nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai
dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang
berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul
Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol
Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya
sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu:
dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai
undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai
dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah
wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan
dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil
menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah
menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin
oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak
menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang,
semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan
undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar
tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam
undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas
mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama
presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah
presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya,
maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan
kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik
ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan
karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang
dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai
akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak
Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada
undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam
undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi
presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat,
tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai
warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik
demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik
Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai
penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak
Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia
dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat
sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke
tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden
bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi
karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk
menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja
suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak
mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka
Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan
menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit
demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang
dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi,
Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau
perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung,
berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal
pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa
pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui
siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan
dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi
komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun
televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu
nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera
berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu
mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat
lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir,
yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak
boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir
pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus
diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah
siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling
banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya.
Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi
langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama
Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya
puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara,
yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di
Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara
memberi penjelasan kepada wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat
penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik
Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa
menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba
sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka
dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara
mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat
mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin
dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik
Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar
ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum
mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh
Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan
pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan
resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan
penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara
itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara
itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur
ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa
mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat
terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati
mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin,
dan tetap dihormati.
Sumber : CerpenKompas
Editor : Ananda Donie
Animasi|Artikel|Unik dan Menarik|Auto Text BB|Blog Code|Blog Info|Blog Tool|Cerita Rakyat|Cinema|Download|P Ramlee|Mutiara Bijak|HJ-Split|Pendidikan|PTC|Sejarah|SEO|Kesehatan|Tutorial|
Idul Adha|Update Via App|Widget|Cerpen|
© Copyright 2012 by Ananda Donie
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Accept criticism and suggestions from friends for the perfection of this Blog.
Hopefully this article useful,
Thank you :)