Untuk memahami perilaku
individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak
belakang, yaitu: (1) behaviorisme dan (2) holistik atau humanisme. Kedua
pendekatan ini memiliki implikasi yang luas terhadap proses pendidikan,
baik untuk kepentingan pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan
serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya.
Behaviorisme memandang
bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan
dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan
stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan. Behaviorisme
menjelaskan mekanisme proses terjadi dan berlangsungnya perilaku
individu dapat digambarkan dalam bagan berikut :
S > R atau S > O > R
S = stimulus (rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan O=organisme (individu/manusia).
Karena stimulus datang
dari lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan kepadanya, maka
mekanisme terjadi dan berlangsungnya dapat dilengkapkan seperti tampak
dalam bagan berikut ini :
W > S > O > R > W
Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu :
- Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).
- Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia meresponsnya)
Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan di atas biasa disebut dengan perilaku spontan.
Contoh : seorang
mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan
kelas yang terasa panas, secara spontan mahasiswa tersebut
mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan kelas yang
panas merupakan lingkungan (W) dan menjadi stimulus (S) bagi mahasiswa
tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku merupakan
respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa
gerah (W) setelah mengipas-ngipaskan buku.
Sedangkan perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut:
W > S > Ow > R > W
Contoh : ketika sedang
mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa
agak gelap karena waktu sudah sore hari ditambah cuaca mendung, ada
seorang mahasiswa yang sadar kemudian dia berjalan ke depan dan meminta
ijin kepada dosen untuk menyalakan lampu neon yang ada di ruangan kelas,
sehingga di kelas terasa terang dan mahasiswa lebih nyaman dalam
mengikuti perkuliahan.
Ruangan kelas yang
gelap, waktu sore hari, dan cuaca mendung merupakan lingkungan (W), ada
mahasiswa yang sadar akan keadaan di sekelilingnya (Ow), –meski di
ruangan kelas terdapat banyak mahasiswa namun mereka mungkin tidak
menyadari terhadap keadaan sekelilingnya–. berjalan ke depan, meminta
ijin ke dosen, dan menyalakan lampu merupakan respons yang dilakukan
oleh mahasiswa yang sadar tersebut (R), suasana kelas menjadi terang dan
mahasiswa menjadi lebih menyaman dalam mengikuti perkuliahan merupakan
(W).
Sebenarnya, masih ada
dua unsur penting lainnya dalam diri setiap individu yang mempengaruhi
efektivitas mekanisme proses perilaku yaitu receptors (panca indera
sebagai alat penerima stimulus) dan effectors (syaraf, otot dan
sebagainya yang merupakan pelaksana gerak R).
Dengan mengambil contoh perilaku sadar
tadi, mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya
(receptor) menjadi tidak jelas, sehingga tulisan dosen di papan tulis
tidak terbaca dengan baik. Menggerakkan kaki menuju ke depan,
mengucapkan minta izin kepada dosen, tangan menekan saklar lampu
merupakan effector.
B. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)
Holistik atau humanisme
memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek
intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor
penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus
yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan
mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku (how),
baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi instrinsk)
maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Perilaku individu
diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan
kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya
kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya.
Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu
secara hierarkis, yaitu:
- kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan
- kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual
- kebutuhan kasih sayang atau penerimaan
- kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status
- kebutuhan aktualisasi diri.
Sementara itu, Stranger (Nana Syaodih Sukmadinata,2005) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:
- Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
- Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.
- Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.
- Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.
Kebutuhan-kebutuhan
tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) yang merupakan kekuatan
(energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber
dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari
luar individu (motivasi ekstrinsik).
Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior), sehingga membentuk suatu siklus
Berkaitan dengan motif individu, untuk
keperluan studi psikologis, motif individu dapat dikelompokkan ke dalam 2
golongan, yaitu :
- Motif primer (basic motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif yang tidak pelajari, dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.
- Motif sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial (ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest (eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.
Untuk memahami motivasi
individu dapat dilihat dari indikator-indikatornya, yaitu : (1) durasi
kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan
kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat
aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7)
tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari
kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dalam diri individu
akan didapati sekian banyak motif yang mengarah kepada tujuan tertentu.
Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam individu, adakalanya
individu harus berhadapan dengan motif yang saling bertentangan atau
biasa disebut konflik.
Bentuk-bentuk konflik tersebut diantaranya adalah :
- Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
- Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
- Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya motif negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika seorang individu
dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di atas tentunya
dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat
mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam pandangan
holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam
dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada
tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau
tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa
puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya,
jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi
maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi
individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung
kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani
mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri
secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal
sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya lebih
dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian
diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk perilaku salah suai (maldjustment),
diantaranya : (1) agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi
(kemunduran perilaku); (4) fiksasi; (5) represi (menekan perasaan); (6)
rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi (melemparkan kesalahan
kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada
obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan
dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya,
seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru
untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar terhindar dari
konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan
perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk
mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan
dan frustrasi.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan contoh terbentuknya perilaku berdasarkan pendekatan holistik.
Contoh 1 :
Karena gagal mengikuti mengikuti testing pada salah satu Fakultas di Perguruan Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration),
dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya (moralitas), secara
sukarela Arjuna memutuskan untuk melanjutkan pada salah program studi
yang ada di FKIP UNIKU (sublimasi).
Ketika mengikuti
perkuliahan Psikologi Pendidikan yang merupakan salah satu mata kuliah
yang wajib diikuti para mahasiswa, sejak awal dia sudah menyadari bahwa
dia kekurangan pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam bidang
Psikologi Pendidikan sehingga dia menyadari Psikologi Pendidikan
merupakan kebutuhan bagi dirinya (need felt) dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya (goals/incentives).
Untuk tujuan jangka
pendeknya, dengan berbekal kesadaran diri bahwa dia memiliki potensi
dalam bidang psikologi pendidikan, dia berharap dapat memperoleh
kemampuan baru berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
berhubungan dengan psikologi pendidikan, yang diperolehnya dari setiap
pertemuan tatap muka dengan dosen.
Tujuan jangka menengah,
pada akhir semester dia berharap lulus mata kuliah Psikologi Pendidikan
dengan mendapatkan nilai A (kebutuhan harga diri). Selain itu, nanti
pada saat mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), dia berharap dapat
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan tujuan yang ingin
dicapai untuk jangka panjang, dia benar-benar berharap dapat menjadi
guru yang efektif dan kompeten.
Keinginan dan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bidang psikologi
pendidikan, memperoleh kesuksesan belajar dengan mendapatkan nilai A,
memperoleh kesuksesan dalam mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL),
keinginan menjadi guru yang efektif dan kompeten kemudian berkembang
menjadi dorongan yang kuat dalam dirinya (motivasi intrinsik)
Pada saat mengikuti
perkuliahan Psikologi Pendidikan dia senantiasa aktif bertanya dan
mengemukakan pendapatnya tentang materi yang disampaikan, membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan yang diwajibkan dan dianjurkan
oleh dosen. Setiap tugas yang diberikan diselesaikan dengan
sebaik-baiknya dan tepat waktu. Dia juga sangat menyukai diskusi tentang
psikologi pendidikan dengan teman-temannya di luar kelas (perilaku
instrumental).
Berkat aktivitas dan
kesungguhannya dalam mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia
memperoleh pengetahuan yang luas, sikap yang positif dan memiliki
keterampilan yang bisa dibanggakan dalam menerapkan prinsip-prinsip
psikologi. Pada akhir semester, dia memperoleh nilai terbaik di
kelasnya, pada saat PPL dia termasuk mahasiswa praktikan yang disukai
oleh peserta didiknya, bahkan kepala sekolahnya meminta dia untuk
menjadi guru di sekolah menjadi tempat prakteknya.
Setelah dia selesai
kuliah dia menjadi guru di sebuah sekolah, para peserta didik sangat
menyenangi dia karena dia sangat dekat dan akrab dengan peserta
didiknya. Begitu juga, rekan-rekan seprofesinya sangat hormat dan kagum
atas kinerjanya sebagai guru. Pada saat mengikuti lomba pemilihan guru
berprestasi tingkat kabupaten, dia berhasil meraih sebagai juara
pertama.
Dia sangat mensyukuri
atas segala keberhasilannya, baik ketika selama menjadi mahasiswa maupun
setelah menjadi guru (homeostatis). Bagi dirinya, Perkuliahan Psikologi
Pendidikan telah mendasari dia menjadi seorang yang sukses.
Contoh 2 :
Astrajingga rekan
seangkatan Arjuna. Dia bercita-cita menjadi seorang ekonom, karena gagal
mengikuti mengikuti testing pada Fakultas Ekonomi di Perguruan Tinggi
ternama melalui jalur UMPTN (frustration), kemudian dia dipaksa
orang tuanya untuk melanjutkan pada salah satu program studi di FKIP
UNIKU (motivasi ekstrinsik/substitusi), sehingga selama kuliah, dia
belum menemukan apa tujuan kuliahnya.
Dia tidak begitu
berminat mengikuti perkuliahan mata kuliah kependidikan, termasuk mata
kuliah Psikologi Pendidikan (kurang merasakan adanya kebutuhan dan
kekurangan motivasi). Pikirannya selalu terganggu bahwa seolah-olah dia
sedang kuliah pada Fakutas Ekonomi di Perguruan Tinggi yang
diidam-idamkannya dan dia merasa seolah-olah bakal menjadi Ekonom
(fantasi). Dia sering tidak masuk kuliah, sekalipun dia masuk kuliah
hanya sebatas takut dimarahi oleh dosen yang bersangkutan dan takut
dinyatakan tidak lulus (kebutuhan rasa aman). Tugas-tugas yang diberikan
dosen pun jarang dikerjakan, kalaupun dikerjakan hanya alakadarnya dan
selalu telat disetorkan. Dia dihadapkan pada perang batin antara terus
melanjutkan studi yang tidak sesuai dengan cita-citanya atau keluar dari
kuliah dengan resiko orang tua akan marah besar terhadap dirinya
(conflict).
Selama satu semester
mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia hanya memperoleh
sebagian kecil saja pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang
psikologi pendidikan dan pada akhirnya dia dinyatakan tidak lulus dan
terpaksa harus mengikuti remedial. Sambil menangis (regresi), dia
menyalahkan dosen bahwa dosennya tidak becus mengajar (proyeksi).
[Semoga Bermanfaat]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Accept criticism and suggestions from friends for the perfection of this Blog.
Hopefully this article useful,
Thank you :)